Adat atau
Tradisi dalam Beribadah (2)
02/02/2010
Al-Qur’an dan Hadits merupakan
rujukan pamungkas bagi syariat Islam. Keduanya
mengandung ajaran global yang
akan menjawab berbagai problematika umat, di
manapun dan sampai kapan pun.
Namun demikian, itu bukan berarti tidak menutup
kemungkinan ada masalah yang ’tidak
ada’ dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam
artian, rujukan dalam Al-Qur’an
atau Hadits tidak merinci semua kejadian yang
dialami manusia. Hal ini
mengingat bahwa fenomena akan terus berlangsung seiring
dengan laju zaman, sedangkan
nash-nash yang ada terbatas’.
Banyak sekali hal-hal yang sudah
dilegimitasi syara’, di antaranya shalat. Nash mana
pun akan mengatakan bahwa shalat
hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan perintah
Allah dalam Al-Qur’an QS. An-Nur
: 56: ”Tunaikanlah Shalat!”
Banyak sekali ayat-ayat dan
hadits Rasulullah SAW yang menyerukan wajibnya
shalat. Ini menunjukkan bahwa
shalat adalah bagian terpenting dalam Islam. Bahkan,
Allah SWT menegaskan, tidak ada
hukuman mati bagi siapapun yang tidak
menunaikan bagian dari rukun
Islam, baik karena malas atau lainnya, kecuali shalat.
Jika seseorang maninggalkannya
karena benci akan perintah Allah, atau tidak percaya
atas wajibnya shalat, hukumnya
murtad.
Setiap muslim berkewajiban
manunaikan shalat lima
kali dalam sehari semalam.
Ketentuan-ketentuanya telah
diatur secara gamblang dalam syara.
Rasulullah SAW telah memberikan
suri tauladan dalam tata cara shalat ini. Dalam
suatu hadits, Rasulullah SAW
bersabda : ”Shalatlah sebagaimana kalian mlihat cara
shalatku” - H.R Bukhari
Contoh lain adalah hukum mamakan
bangkai, Allah SWT juga menegaskan larangan
mamakan bangkai, darah dan
daging babi. Allah SWT berfirman : ”Diharamkan atas
kamu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, binatang yang disembelih atas nama
selain allah SWT, binatang yang
mati tercekik, dipukul, jatuh, tertanduk dan mati
karena terkaman binatang buas.”
QS. Al-Ma’idah: 3.
Itulah contoh perkara yang sudah
mendapatkan legimitasi hukum secara jelas. Ketika
kita ditanya; Apa hukumnya
shalat? Tentu jawabannya adalah wajib. Apa hukum
memakan bangkai? Tentunya haram.
Yang menjadi persolaln sekarang;
bagaimana dengan hal-hal belum ada ketentuannya,
baik perintah atau larangan
adalah mubah. Dalam kaidah Fikih disebutkan: ”Asal dari
segala sesuatu adalah mubah”
Dalam masalah ini, Allah SWT pun
berfirman: ”Dan tidaklah Jibril turun membawa
wahyu, kecuali (itu) karena
kehendak Tuhanmu. Apa-apa yang ada di hadapan dan
belakang kita serta apa yang
belum pernah terjadi adalah atas kehandak-Nya. Dan
tidaklah Tuhanmu melupakan hal
itu”. QS. Maryam: 64
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA:
”Saya bersama Kholid bin wahid sedang
menemani Rasulullah berkunjung
ke rumah Maemunah. Dihilangkan kepadanya
seekor biawak. Rasulullah SAW kemudian
penasaran dan memegangnya. Lalu
sebagian dari (perempuan)
berkata kepada sebagian sahabat untuk memberitahukan
kepada Rasulullah SAW, bahwa ini
hewan biawak ya Rasulullah SAW, lalu beliau
mengangkat tangannya. Lalu saya
menanyakan”Apakah (binatang) itu diharamkan
wahai Rasulullah?” Rasulullah
SAW menjawab, ”Tidak. Tetapi tidak pernah ada di
lingkungan kami, maka segala
sesuatu yang aku belum menemuinya, kami
mentolerir”. Khalid pun kemudian
memakannya dan Rasulullah SAW malihatnya”
(HR. Bukhari & Muslim)
Tidak semua fenomena-fenomena
itu baru tersurat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Namun demikian, Al-Qur’an dan
Hadits sudah memberikan pedoman umum
berkaitan dengan hal itu, di
antaranya ketentuan bahwa sesuatu yang belum
mendapatkan legimitasi hukum dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits hukumnya mubah.
Artinya tidak diperintahkan dan
tidak dilarang. Hukumnya diserahkan kepada
maslahat manusia. Jika hal itu
memberikan implikasi positif, maka dianjurkan.
Sebaliknya, jika memberikan
Implikasi negatif, maka dilarang.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT telah
menetapkan beberapa kewajiban.
Janganlah kalian lalaikan. Allah SWT pun telah
menentukan larangan. Jangan
kalian terjang. Allah WST pula telah memberikan
batasan-batasan atas segala
sesuatu. Jangan sampai kalian sebagai rahmat dan
keringanan bagi kamu-dan itu
bukan lalai-, maka hendaknya kalian jangan mencaricari
hukumnya.” (HR Daruquthni)
Dari Salman RA Berkata, ”Allah
SWT telah menghalalkan yang halal dan
mangharamkan yang haram. Jadi
yang halal hukumnya halal dan yang haram
hukumnya haram. Adapun sesuatu
yang belum mendapatkan legimitasi hukum, maka
(bisa) ditolerir - (HR Baihaqi)
Dalam kesempatan lain Rasulullah
SAW bersabda: Dari Salman Al-Farisi ra. “Kami
telah bertanya kepada Rasulullah
SAW tentang minyak samin, keju dan kedelai, lalu
baliau menjawab: yang halal
adalah yang telah dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya,
yang haram adalah yang telah di
haramkan di dalam kitab-Nya, adapun sesuatu yang
didiamkan hukumnya dima’fu
(ditolerir)”. (HR Baihaqi)
“Sahabat Ali bertanya: Wahai
Rasulullah, bagaimanakah bila datang kepada kami
sesuatu yang tidak turun di
dalam Al-Qur’an, juga tidak ada dijelaskan dalam Sunah
Tuan? Rasulullah SAW menjawab;
Musyawarahkan hal itu bersama orang-orang
yang ahli ibadah dan orang-orang
yang mu’min, jangan engkau memutuskan sesuatu
itu hanya dengan akal saja.”
(HR. At-Thabrani)
Imam Ghazali juga memberikan
sikap yang sangat cantik dalam menyikapi sesuatu
tindakan yang belum dikenal pada
masa Rasulullah SAW, dengan mengembalikan
kapada pendapatnya ulama. Di
bawah ini kutipan Ghazali pada atsar:
“Ketika dikatakan kepada
Rasulullah SAW, “Apa yang harus kami perbuat manakala
ada perintah dan kami menemukan
(hukum)nya baik dalam Al;-Qur’an atau Al-
Hadis? “Rasulullah SAW menjawab,
“bertanyalah kepada orang-orang shaleh yang
telah dijadikan sebagai petunjuk
di antara mereka”. Dalam riwayat lain, “Ulama
dhahir adalah perhiasan bumi dan
langit . Sedangkan ulama bathin penghias langit dan
alam malakut”. (Ihya’ Ulumuddin,
jilid1, hal. 22)
Ibnu Ajibah, dalam tafsirnya
al-Bahrul Madid, mengutip atsar yang senada dengan
sikapnya imim Ghazali, yaitu
bila datang pada kita sesuatu yang belum mendapat
legalitas Al-Kitab dan As-Sunnah,
maka hendaknya dikembalikan kepada para ulama’
sebagai bahan musyawarah untuk
mencari solusi terbaik dan kemaslahatan bagi
masyarakat setempat.
“Para
sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, Bagaimana kalau terjadi perselisihan
pada kami setelah tuan ada dan
tidak kami ketemukan di kitab Allah, tidak juga Sunah
Rasulullah? Beliau menjawab: “Kembalikanlah
permasalahan kepada pendapat orngorng
shaleh dan jangan melanggar
pendapatnya.” (Al-Bahrul Madid, Jilid 2, hal. 194).
Dengan demikian segala sesuatu
yang belum terdapat dalam Al-Quran dan Al-hadis,
hukumnya ‘deserahkan’ kepada
ulama untuk bahan ijtihad, mencari hukum yang
sesuai dengan keadaan dan
maslahat bagi masyarakat setempat. Bukan malah di jauhi
dan diklaim bid’ah, karena
mengada-ada yang tidak di temukan dalam Al-Qur'an dan
hadits. Orang-orang shaleh yang
dimaksud adalah ulama-ulama mujtahidin yang
mempunyai kompetensi keilmuan
yang mumpuni.
H Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, MA
Rais Syuriyah PCNU Mesir
Sumber
: http://www.nu.or.id
Thanks for reading: Adat atau Tradisi dalam Beribadah (2)

0 komentar