Kata palsu biasanya digunakan untuk menerangkan tentang sesuatu yang tidak
benar. Misalnya ijazah palsu, sertifikat palsu, surat berharga palsu,
makalah palsu, uang palsu, dan bahkan juga ada istilah gigi palsu. Apa
saja yang disebut palsu biasanya tidak ada harganya, kecuali gigi palsu
saja. Gigi palsu masih bisa
digunakan dan juga disukai orang. Tetapi, ijazah palsu, uang palsu,
surat-surat berharga palsu, dan sejenisnya lagi, manakala ketahuan
kepalsuannya, maka pemegangnya akan berurusan dengan polisi.
Puasa
palsu sesungguhnya tidak ada. Sebab seseorang itu sedang berpuasa atau
tidak akan ketahuan. Puasa itu hanya untuk Tuhan. Sedangkan Tuhan tidak
bisa dibohongi. Oleh karena itu tatkala seseorang mengaku berpuasa,
tetapi sebenarnya tidak, maka yang benar bahwa yang bersangkutan itu
memang tidak berpuasa. Ia mengaku saja berpuasa, tetapi sebenarnya tidak
melakukannya. Oleh karena puasa hanya untuk memenuhi perintah Tuhan, maka tidak akan bisa dipalsukan.
Tuhan Maha Tahu dan Maha bijaksana.
Puasa hanya diperintahkan kepada orang yang beriman. Selainnya tidak
diperintahkan. Orang beriman saja yang bisa menjalankan puasa. Orang
yang suka bohong, munafiq, suka memalsu apa saja, tidak diperintahkan
untuk berpuasa. Sebab tatkala berpuasa, orang yang suka bohong, munafiq, dan suka memalsu, maka puasanya
juga dijalankan dengan bohong-bohongan. Dan itu akan percuma, hanya
bikin yang bersangkutan lapar dan dahaga, tetapi tidak akan memberi
manfaat apa-apa.
Beda
dengan puasa palsu, ----yang sebenarnya puasa palsu itu tidak ada,
adalah jujur palsu. Orang mengatakan bahwa dirinya jujur, padahal
sebenarnya tidak jujur, maka disebut jujur palsu. Yang menilai bahwa seseorang itu jujur atau tidak adalah manusia. Sedangkan manusia amat mudah dibohongi. Oleh karena itu bagi orang cerdik tetapi tidak
beriman, maka mudah sekali menggunakan kecerdikannya itu untuk
berpura-pura jujur. Seolah-olah, ia sangat membenci kebohongan,
kepalsuan, dan bahkan juga korupsi. Padahal sebenarnya sehari-hari, ia berbohong dan bahkan juga melakukan tindakan korup.
Tuhan tidak pernah bisa dibohongi, oleh karena Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara alam semesta ini selalu mengetahui baik yang lahir maupun yang batin. Sedangkan manusia hanya sebatas bisa mengetahui yang lahir saja. Apalagi, yang diketahui itupun
juga hanya sebagian. Oleh karena itu, banyak orang yang sebenarnya
tidak jujur dianggap jujur. Orang korup dianggap tidak korup, dan bahkan
pelaku korup pun bisa saja mengaku pembenci tindak kejahatan korupsi.
Sayangnya, tatkala mengusut tindak kejahatan korupsi, ------- karena keterbatasannya itu, hanya sebatas menggunakan bukti-bukti hukum. Artinya, hanya menggunakan data yang bersifat fisik, yaitu yang tampak atau yang terdokumentasikan. Keterangan yang berasal dari seseorang yang belum dianggap cukup, tidak
bisa digunakan sebagai alat bukti. Itulah sebabnya, menetapkan
seseorang sebagai telah melakukan penyimpangan atau tidak, bukanlah
perkara mudah. Apalagi, pelaku korup yang cerdik begitu mudah memutar balikan fakta, data, dan bahkan juga argumentasi. Akibatnya,orang yang sebenarnya korup menjadi selamat dan sebaliknya, orang yang tidak korup, bisa-bisa menjadi korban atau sengaja dikorbankan.
Perbuatan korupsi yang hanya
dilihat dari bukti-bukti hukum seperti yang dikemukakan di muka itu
menjadikan orang cerdik tetapi tidak beriman sangat pintar
menyembunyikan kejahatannya. Suap menyuap terjadi tetapi tidak banyak yang terdeteksi. Maka yang terdengar hanyalah sebatas isu penyuapan. Seseorang diangkat pada jabatan tertentu, menurut isu yang berkembang telah membayar sekian ratus juta kepada calo yang memperjuangkannya. Transaksi percaloan jabatan itu tidak terdokumentasikan. Begitu pula, serah terima uang yang dimaksudkan itu dilakukan lewat cara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui orang lain. Dengan begitu, maka seolah-olah tidak ada korupsi atau suap menyuap, padahal kenyataannya tidak demikian.
Islam
mengajarkan bahwa perbuatan itu tergantung pada niatnya. Niat selalu
berada pada wilayah batin, yaitu ada dalam hati. Perbuatan baik, tetapi
didasari oleh niat yang buruk, maka perbuatan itu tidak ada gunanya.
Aspek lahir dan batin harus dilihat secara bersama-sama. Itulah sebabnya, puasa tidak bisa dipalsukan. Seseorang boleh-boleh saja berpura-pura puasa, tetapi sebenarnya ia memang
tidak berpuasa. Puasa palsu tidak ada. Umpama dalam melihat perbuatan
korupsi juga melibatkan aspek batinnya, yakni niatnya, motif-motif yang
mendorongnya, maka hasilnya akan lebih sempurna. Kesalahan dalam melihat diri orang akan bisa dikurangi, dan hasilnya rasa keadilan bisa dirasakan.
Melihat suatu perbuatan hingga aspek batin adalah menjadi lebih sempurna daripada hanya melihatnya dari aspek prosedure dan sisi lahirnya. Cara itu akan lebih adil. Dengan begitu maka tidak akan terjadi lagi seseorang yang benar-benar korup, ------oleh karena kecerdikan, menjadi dianggap tidak korup, dan begitu pula sebaliknya, orang yang sebenarnya tidak korup dinilai korup. Melihat sesuatu perkara hingga sampai pada aspek batin adalah merupakan keharusan, agar tidak ada istilah jujur palsu, sebagaimana puasa palsu yang juga tidak pernah ada. Wallahu a’lam.
http://www.uin-malang.ac.id
Thanks for reading: Puasa palsu sesungguhnya tidak ada

0 komentar