TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli
pendidikan Islam menggarisbawahi adnaya tiga alur pemikiran dalam
menjawab persoalan pendidikan, yaitu:
Pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis)
pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial,
nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir
Islam.
Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan
Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya
berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran
(filsafat) pendidikan Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadit, dan bersedia
menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya
untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.
Disisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga
dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab
tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu,
Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman,
yaitu:
1. Tekstualis Salafi
Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan
melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkrit
dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer)
yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah
masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW
dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah
kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan
pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat
kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf
sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era
modenitas.
2. Tradisionalis Mazhabi
Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami
melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali
kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat
setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama’
terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa mempertimbangkan
dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah
masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap
telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.
Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu
dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan
pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk
keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad
lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional
dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara
berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai,
norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun
menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis
masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai
akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak
mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti
aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya
yang dianggap sudah relative mapan.
3. Modernis
Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah
dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan
sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim
kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual
muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan
kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati
pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin
langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah
intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk
berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap
nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.
4. Neo Modernis
Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai
mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan
dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati
kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia
teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan
Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan
keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering
dikumandangkan adalah: “ al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu
bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah
ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Sumber: lihat di http://imtaq.com. Mengutip dari Buku Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Karya Dr. Muhaimin, M.A. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003
Thanks for reading: TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

0 komentar